Sabtu, 04 Desember 2010

sejarah Batik

Markus Yanni

BUKAN hal yang mudah untuk bisa menemukan jejak kejayaan batik di Semarang ini. Di Kampung Batik sendiri, yang dahulu dikenal sebagai sentra, dari penelusuranSuara Merdeka di lapangan, tidak ditemukan aktivitas ataupun peninggalan yang menggambarkan bahwa daerah itu sebelumnya adalah pusat batik semarangan.
Hanya ada satu rumah asli warga setempat, yang sedikit menunjukkan sisa-sisa kejayaan Kampung Batik, yakni di Jl Batik, Widoharjo. Rumah yang terbuat dari kayu tersebut belum dirombak sama sekali. Di depannya terdapat beberapa motif ukir-ukiran, seperti motif batik pesisiran, yakni kotak-kotak dengan ukiran. Hanya saja, tidak bisa diperoleh keterangan lebih terperinci, karena rumah tersebut kini sudah tidak ditempati warga asli dan mereka tidak tahu menahu tentang sejarah rumah yang dihuninya.
Menurut Fauzi, sekretaris RW I, Kelurahan Rejomulyo, Semarang, dahulu rumah tersebut memang milik Usup, yang dikenal sebagai salah satu pembatik di kampung tersebut. Namun, setelah meninggal, tidak ada lagi anak atau cucunya yang melanjutkan kegiatan membatik. Bahkan, rumah tersebut kini sudah ditempati orang lain.
Kampung Batik sendiri memang pernah menjadi salah satu sentra perajin batik pada zaman Belanda sampai dengan kedatangan Jepang pada tahun 1942. Menjelang kedatangan Jepang di Semarang, pemerintah Belanda di kota ini memberikan instruksi kepada penduduk agar membumihanguskan tempat-tempat yang memiliki potensi ekonomi. Ada dugaan, Kampung Batik menjadi sasaran pembakaran, sehingga peralatan-peralatan dan kegiatan membatik sirna hingga sekarang.
Dipakai Sendiri
Tak hanya Kampung Batik yang merupakan tempat perajin batik, tetapi juga Bugangan, Rejosari, Kulitan, Kampung Melayu, dan Kampung Darat, yang notabene adalah kampung-kampung yang terletak di sekitar pusat Kota Semarang tempo dulu.
Berdasarkan penelitian Dr Dewi Yuliati MA dari Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Undip, dahulu orang Semarang membatik untuk dipakai sendiri. Dengan demikian, motif batik rakyat tergantung kepada keinginan, imajinasi, ekspresi, dan kreasi pembatik. Perajin batik Semarang tidak pernah membakukan motif dan nama batik, seperti batik di Surakarta dan Yogjakarta. Sebut saja Sido Mukti, Sido Luhur, Sekar Jagat, Parang Kusumo, Parang Barong, dan sebagainya.
Umumnya orang Semarang tempo dulu membatik dengan motif naturalis (ikan, kupu-kupu, bunga, pohon, bukit, dan rumah), tidak simbolis seperti batik-batik di Surakarta dan Yogyakarta. Motif naturalis menjadi ciri khas batik yang diproduksi oleh masyarakat pesisir utara Jawa. Ciri itu dapat dimaknai sebagai karakter masyarakat pesisir, yang lebih terbuka dan ekspresionis jika dibandingkan dengan masyarakat di Surakarta dan Yogyakarta, yang lebih dilingkupi oleh sistem simbol, norma-norma, dan aturan-aturan di bawah kekuasaan raja.
"Warga di Semarang tempo dulu membuat batik hanya untuk dipakai sendiri, sangatlah sulit bagi peneliti untuk menemukan motif batik rakyat Semarang," ungkap Dewi, yang sudah menelusuri sejarah batik semarangan sejak tahun 2002 itu.
Selain batik yang dipakai sendiri, ada penduduk Semarang tempo dulu yang memproduksi batik secara perusahaan. Pada awal abad ke-20 sampai dengan tahun 1970-an, di Semarang ada satu perusahaan batik besar yang bernama "Batikkerij Tan Kong Tin". Perusahaan batik tersebut terletak di Bugangan, milik orang Tionghoa peranakan bernama Tan Kong Tin, yang menikah dengan Raden Ayu Dinartiningsih, salah satu keturunan Hamengku Buwana III dari Yogyakarta.
Tan Kong Tin memperoleh keahlian membatik dari istrinya yang masih kerabat keraton Jogja tersebut. Dia adalah salah seorang putera dari Tan Siauw Liem, seorang tuan tanah di Semarang, yang mendapat gelar mayor dari pemerintah Hindia Belanda.
Keahlian dalam usaha batik diturunkan kepada puteri Tan Kong Tin, Raden Nganten Sri Murdijanti, yang meneruskan perusahaan Tan Kong Tin sampai dengan tahun 1970-an. Setelah kemerdekaan RI, Raden Nganten Sri Murdijanti memperoleh hak monopoli batik untuk wilayah Jawa Tengah dari Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI).
"Batikkerij Tan Kong Tin" memiliki sejumlah pegawai, yakni carik (pembuat design motif batik), pembatik, dan tukang celup. Jumlah pembatik di perusahaan itu cukup banyak, berasal dari kampung-kampung Rejosari, Kintelan, Kampung Batik, Karang Doro, Mlaten Trenggulun, Kampung Darat, dan Layur. Jumlah produk batik disesuaikan dengan pesanan, jadi tidak diproduksi secara massal, mengingat pembuatannya sangat rumit dan memerlukan waktu lama (kira-kira satu bulan).
Pemesan batik pada masa kolonial Belanda adalah dari kalangan pejabat-pejabat pemerintahan, para turis, dan pedagang.
Produk-produk yang dipesan berupa jarit, selendang, dasi, dan topi.
Motif-motif batik "Batikkerij Tan Kong Tin" mengekspresikan perpaduan antara motif batik Yogyakarta dan pesisir.
Kini, guna melestarikan batik semarangan melalui revitalisasi Kampung Batik tersebut merupakan langkah jitu untuk membuat generasi muda Semarang bisa melihat dan mengenali batik. Bisa jadi, anak-anak kita nanti tidak tahu kalau ternyata Semarang memiliki warisan budaya berupa batik. Jadi, wajar kalau nanti batik tidak hanya Pekalongan atau Solo, tapi batik Semarang pun juga bisa mendunia. (*18h)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar